MASALAH KELUARGA CEMARA DI DEMOKRASI KITA

Mansurni Abadi 

Kita yang pernah merasakan masa-masa saat aktivis menonton televisi bareng keluarga tanpa adanya gangguan dari telefon pintar tentu tidak asing dengan drama berjudul ‘Keluarga cemara’,  sinetron yang tayang dari tahun 1993 hingga 2005 itu menceritakan lika-liku, pengharapan, sekaligus keharmonisan keluarga Abah yang menjadi perantau di kota besar. 

Dari sinetron yang diadaptasi dari karya Arswendo yang kemudian diadaptasi kembali ke layar lebar pada tahun 2019 itu, perasaan kita dibuat bergejolak sekaligus sadar akan makna keluarga yang merupakan harta karun paling berharga di tengah kontruksi sosial yang kapitalistik.  

Dalam kajian ilmu sosial, keluarga sebagai unit sosial terkecil  masyarakat memang amat penting untuk kestabilan dan kemajuan masyarakat. apalagi ditenngah  era yang semakin  membuat kita kehilangan makna, ikatan tak bersyarat yang menjadi kekuatan keluarga menyediakan kasih sayang dan dukungan yang dapat menguatkan individu tersebut. Bergerak dari sosial ke agama, bahkan praktik berkeluarga dianggap sebagai ibadah yang pentingnya setara dengan ibadah yang bersifat ritus. 

Dalam konteks kekuasaan, peran keluarga amat diperlukan bukan saja sebagai penguat yang maju ditengah badai politik namun juga sarana untuk memperkuat citra  dan melanjutkan kekuasaaan.

Cobalah telaah landskap kekuasaan pasca Indonesia merdeka, kita tentu mengenal istilah trah yang diasosiasikan sebagai garis keturunan dari segi darah, ideologi, dan cara dari anggota keluarga yang menjadi pemimpin kepada keturunan kelak.  Jika dahulu di tiktok pernah ada adagium “ lu punya duit, lu punya kuasa”, maka akan ada pula “ Lu anak siapa, Lu bakal jadi apa”.   Secara umum partai-partai di Indonesia sebenernya banyak   melestarikan ‘trah’. Bahkan yang mendaku paling milenial sekalipun secara masih terjebak dengan “Trah”, hanya saja dikemas secara berbeda.

Meskipun demokrasi memberikan kesempatan pada semua orang  untuk memilih dan dipilih, namun ada faktor keistimewaan yang tentu menjadi nilai tambah jika seseorang itu maju dari keluarga yang menjadi pemimpin sebelumnya. Keistimewaan itu bukan hanya persoalan uang namun pengaruh dan jaringan pendukung. 

Kebisingan publik selepas keputusan penurunan usia capres-cawapres, memang kita patut mensyukuri keputusan ini dapat membuka peluang generasi muda menjadi pemimpin indonesia namun yang menjadi pertanyaannya, generasi muda dari kalangan apa dan siapa  yang akan menjadi ? 

Keputusan yang membuka diskursus perihal “politik keluarga” ini menjadi semakin menarik  apalagi lembaga yang memutuskan penurunan itu memiliki petinggi yang masih satu keluarga dari yang isukan bakal diuntungkan oleh penurunan itu. 

Di jagat maya muncul istilah ‘Mahkamah keluarga’,terlepas dari konstelasi politik setelahnya.  Kebisingan ini sebenarnya menarik untuk kita kawal agar menjadi lebih bermakna , lebih berilmu, dan  tidak berstandar ganda apalagi jika  mengingat politik keluarga yang lazim kita sebut sebagai ‘Dinasti politik’ itu merupakan praktik yang sudah mendarah daging di perpolitikan kita dengan dalil dan dalih tertentu. 

Adanya istilah “Raja-raja kecil” sebenarnya bersandar pada fakta sosial di seluruh Indonesia, tentang dominasi satu keluarga selama beberapa periode jabatan. Dalam konteks yang lebih luas, praktik politik dinasti sebenarnnya terjadi manapun bahkan di negara maju sekalipun  ada beberapa keluarga yang mendominasi level kekuasaan. 

Seorang teman pernah mengatakan yang  membedakan kekuasaan republik dari monarki hanyalah terletak pada proses menjadinya, jika pada monarki pewarisan kekuasaan dilakukan tanpa pemilihan namun mengikut tradisi ,namun pada sistem republik proses pewarisan itu terjadi melalui momentum demokrasi yang disepakati rakyat banyak lewat selubung abu-abu. 

Memang benar jika rakyat tidak memilih calon yang dianggap akan mewarisi trah itu maka terputuslah kemungkinan terjadinya politik dinasti. Namun kenyataannya,  banyak contoh  mereka yang dianggap mewarisi ‘trah’ kemudian malah diberikan mandat oleh rakyat untuk memimpin mereka. Tentu ada faktor yang negatif, positif, maupun campuran yang menentukan suara rakyat untuk menjadikan mereka sebagai ‘the next leader’.

Politik dinasti dan masalah bagi demokrasi 

Memang secara umum, tidak ada aturan yang melarang seorang anak pejabat, baik yang masih maupun tidak kuasa untuk ikut serta dalam pesta demokrasi. Sejujurnya, ‘dinasti-dinastian’ ini bukan saja dilakukan level lembaga tinggi negara. Di daerah-daerah praktik ini bahkan sudah lama terjadi . saat ada kepala Daerah yang anak  atau keluarga/kerabatnya diangkat juga menjadi Kepala Daerah maupun  pejabat daerah. Bahkan, tengok saja Anggota DPR/DPRD dan partai politik yg juga ‘mendorong’ anak/keluarganya untuk juga ‘melanjutkan dinasti’-nya. 

Yang menjadi masalah dari politik dinasti ini terletak pada persoalan  terkait etika, dimana ada integritas dan persoalan terkait  kompetisisi, dimana ada  kapabilitas kepemimpinan. 

Dari segi etika, politik dinasti menciptakan kondisi demokrasi yang tidak setara dan berpeluang terjadinya politik kepentingan apalagi jika setelah jadi yang ditempatkan di tempat-tempat strategis masih dalam satu keluarga dengan yang sudah dipilih. 

 Sudah tentu peluang terjadinya kecurangan, pelemahan pengawasan, dan tumpulnya  penindakan dapat terjadi,ketika yang di memenangi masih satu keturunan dengan yang sedang maupun pernah berkuasa.  

Karena sangat sulit untuk objektif sekaligus tegas dengan keluarga sendiri. Malah berpeluang pula terjadinya pemanfaatan  infrastruktur kekuasaan untuk menguatkan dinasti pada periode-periode setelahnya sehingga menjadi  persembunyian praktek kekuasaan yang kleptokratif. 

Pada persoalan kompetisi, tidak semua calon yang berlatar belakang anak pejabat dan penguasa itu memiliki kapabilitas yang bagus untuk memimpin. Seringkali praktik sosialisasi si calon  di akar rumput malah menekankan yang bersangkutan pada “ dia keturunan si anu”, ketimbang visi,misi, program kerja, dan gagasan yang dibawanya. 

Hal yang perlu publik ketahui juga,  Pada dasarnya yang diwariskan itu hanyalah pada persoalan genetik biologis, perihal kemampuan apalagi menyangkut visi,misi, dan cara kepemimpinan sangat bergantung pada bagaimana individu tersebut belajar secara akademis maupun dari pengalaman. 

Kita sebagai rakyat perlu sedikit belajar dari teknik Machiavelli yang membedakan mana yang ideal dan yang aktual. Menurut teknik Machiavelly, saat ada dalam tekanan, kita hanya perlu mempertahankan hal-hal penting, yang benar-benar penting. Yang kita harus tau benar apa yang penting itu sehingga  persoalan dia keturunan siapa , menjadi sangat tidak penting untuk terus menerus di sampaikan di ruang publik. 

Merubah kritik dan kekhawatiran menjadi rasa jijik 

Jika tujuan utama kita melakukan kritik sekaligus khawatir akan terjadinya politik dinasi dari yang saat ini berkuasa namun tanpa menelaah lebih jauh praktik dari politik dinasti sendiri, bagi saya merupakan pekerjaan yang sia-sia yang hanya akan terhapus seiring waktu. 

Ditengah kuatnya arus viralitas, seringkali isu yang muncul hanyalah sebatas tensi sesaat yang menunggu waktu untuk berganti dengan isu yang lain. Oleh karena itu, kritik dan kekhawatiran kita perlu diarahkan menuju perjuangan keseteraan untuk mendapatkan kesempatan yang sama sehingga politik dinasti dapat dianggap sebagai praktik yang menjijikkan. 

Memang benar, tidak setiap yang berdinasti itu pastilah jelek namun menggunakan argumen seperti ini selain cacat secara logika karena terjebak dalam simplikasi juga bercanggah dengan semangat demokrasi kita yang secara konsepsi  progresif  dan inklusif itu karena berpeluang menciptakan kediktatoran gaya baru. 

Ketika kita menyepakati sistem republik dengan demokrasi yang luberjurdil  sebagai praktik utamanya maka  sudah tentu  cara-cara yang bertentangan dengan demokrasi dan republik itu sendiri wajib kita tolak salah satunya menormalisasi istilah “dinasti” dann praktiknya sebagai hal yang wajar .

Cukuplah keluarga cemara itu hanya ada dalam konteks sosial terkecil namun keluarga cemara dalam konteks kekuasaan tentu sangat tidak bagus karena menciptakan kekuasaan absolut yang berpeluang jatuh kedalam praktik-praktik yang berunsur korupsi, kolusi, dan nepotisme. 

Similar Posts