GAZA DARI PENJARA TERBUKA KE LADANG PEMBANTAIAN
Mansurni abadi
Pada tanggal 7 Oktober, Hamas bersama rakyat dan barisan pejuang palestina lainnya di Jalur Gaza berhasil menerobos masuk ke wilayah territorial Israel tepatnya di perbatasan eretz. hasilnya banyak infrastruktur militer Israel termasuk pagar yang mereka bangun dengan tiga level keamanan yang katanya super cangih itu rusak.
Kota Sderot dan beberapa desa yang disebut Kibbutz dalam bahasa Ibrani berhasil di masuki oleh gerilyawan Palestina. Meskipun penguasaan mereka hanya sesaat di wilayah-wilayah itu, namun serangan di awal pagi itu berhasil menarik perhatian dunia sekaligus menguncang mental bangsa Israel.
Banyak yang bertanya-tanya, kemana intelijen Israel yang disebut Mossad itu ,yang dikenal amat ahli di dunia perkijangan. Mossad dinilai gagal mendeteksi adanya ancaman dari sana kita dapat menilai sekaligus bangga setidaknya Intel yang menyamar menjadi tukang bakso, wartawan, maupun ojol ternyata jauh lebih canggih ketimbang Mossad.
Di artikel ini saya tidak ingin membahas panjang lebar tentang kronologi serangan itu, tetapi apa yang terjadi setelah serangan itu berdampak amat buruk bagi warga Gaza sekaligus membuka kembali mata dunia (Bagi mereka yang sadar) wajah sebenarnya Israel dan kekuataan pendukungnya yang bukan saja hendak membasmi Hamas semata-mata namun membasmi penduduk Gaza. Hal ini Nampak dari beberapa tanda
Digunakannya metode Penghukuman massal
Banyak penganalisis mengatakan, ada niatan dan tindakan Israel yang menghukum secara kolektif warga Gaza atas serangan pada 7 oktober itu. Mudah saja mengamati kebenaran ini salah satu caranya dengan mencari jejak digital pernyataan dari pejabat-pejabat Israel sendiri
Pemerintah Israel melalui perdana menterinya, Benjamin Netanyahu yang langsung mendeklarasikan perang setelah kejadian itu mengibaratkan pertempuran kali ini sebagai perang antara anak-anak terang vs anak- anak kegelapan.
Menteri pertahanan Israel bahkan mengibaratkan warga Gaza sebagai manusia binatang. Sementara Panglima militer Israel, berjanji akan membuat Gaza tidak sama seperti sebelumnya .
Pemutusan Listrik, Air, Internet, dan Gas oleh Israel kepada penduduk Gaza sehingga mengalami total Blackout merupakan tindakan lain yang semakin membuktikan penghukuman kolektif itu benar adanya.
Sebagaimana yang dilakukan Nazi pada ketika dahulu saat Hitler tidak menyukai segolongan Yahudi lalu memukul rata semua Yahudi itu sama sehingga membantai mereka di kamp konsentrasi dengan metode kamar gas sebagai cara membunuh mereka pada ketika itu hal yang sama bahkan tak kalah kejam justru diperlakukan oleh Israel kepada penduduk Gaza.
Lirik lagu dari band Asal Spanyol, Ska-p berjudul infitada tentang yang teraniaya menjadi penganiaya, memang benar adanya.
Memang tidak semua Yahudi bersepakat dengan apa yang diperbuat oleh Israel, bahkan tidak sedikit Yahudi yang membuat gerakan untuk menentang Israel, Zionisme, dan kekuatan pendukungnya.
Berselindung dibalik upaya mempertahankan diri
Logika dari mempertahankan diri itu ketika Kedua kekuataan berada pada posisi terancam sejak awal oleh yang mengancam bukan pada kondisi dimana yang satu sudah bertindak sebagai pengancam sejak awal lalu saat yang sebenarnya terancam ini bertindak, si pengancam justru bermain seolah-olah menjadi seperti korban.
Ada pertimbangan moral ketika mereka berargumen jika apa yang dilakukan Israel saat ini sebagai upaya mempertahankan diri dari ancaman terorisme. Tapi cobalah kita ulik sejarah tentang bagaimana jejak berdarah yang dilakukan oleh Militer Israel saat invasi di Libanon, Tepi barat, hingga jalur Gaza.
Selain itu cobalah untuk sedikit membaca perihal paramiliter Irgun dan Haganah yang dibentuk pada dekade 1940 yang bertindak seperti halnya teroris dengan menyerang warga Palestina pada ketika itu sehingga mereka berbondong-bondong harus melarikan diri dari tanahnya.
Kekuatan yang tidak setara antara Israel dan Palestina khususnnya mereka yang berada di Gaza membuktikan upaya Israel sebagai entitas Negara bukanlah untuk mempertahankan diri namun untuk agresi yang meningkat levelnya menuju genosida.
Saya jadi teringat dengan pidato dari intelektual Palestina Hanan Ashraw, di konferensi dunia PBB melawan rasisme pada tahun 2001 saat itu dirinya berkata dengan tepat menggambarkan rakyat Palestina sebagai “sebuah bangsa yang terbelenggu, disandera oleh pengusiran yang sedang berlangsung.” Ashrwai kemudian menjelaskan secara rinci, menggambarkan “Nakba atau bencana pengusiran tidaklah berakhir seiring berdirinya Israel namun terus berlangsung”.
Israel pada dasarnya bukan saja didirikan diatas darah rakyat Palestina namun dijalankan lewat sistem apartheid yang membagi penduduk antara pemukim dan pendatang. Modus operandi kolonialisme yang tetap hidup di abad modern dan dinormalkan sebagai upaya untuk menjaga teritorialnya.
Media yang memainkan narasi sesaat
Di media korporat internasional, yang tentu saja tidak netral sebenarnya prinsip-prinsip jurnalisme tentang kebenaran telah lama mati. Hal ini terbukti dari hilang konteks perjuangan warga palestina dalam pemberitaan mereka, saat banyak media internasional beramai-ramai melabel serangan 7 oktober itu sebagai tindakan terorisme.
Mereka lupa jika tindakan di awal pagi itu tidak hadir diruang hampa namun merupakan akumulasi amarah setelah sekian lama hidup dalam penjara terbesar di dunia.
Jauh sebelum invasi kali ini terjadi, Gaza berulang kali menjadi debu akibat serangan udara dan operasi militer Israel. Kini, sekali lagi, pemboman telah dimulai—dan di media arus utama maupun di ruang publik masyarakat Israel sendiri, terdapat diskusi terbuka mengenai pelaksanaan genosida atas nama upaya mempertahankan diri, mengembalikan warga Israel yang disandera, dan menghancurkan Hamas di Gaza. Jika hal ini tidak dicegah, hal ini bisa saja terjadi.
Jika kita meminta warga Palestina untuk tidak melakukan kekerasan, kita tidak boleh melupakan kenyataan yang mereka hadapi. Ketika warga Palestina di Gaza berbaris menuju penghalang Israel yang memenjarakan mereka pada tahun 2017 misalnya, ratusan orang ditembak mati.
Banyak Gambar-gambar yang beredar sekarang sangat mengerikan dan mengejutkan. Sudah menjadi kewajaran dalam perjalanan perjuangan, jalan menuju pembebasan hampir selalu mengalami perubahan yang mengerikan. Meskipun harus jelas bahwa ada beberapa tindakan kekerasan yang, dalam keadaan apa pun, tidak dapat dibenarkan atau dianggap sebagai tindakan perlawanan.
Kini kita perlu bersuara agar Gaza tidak lagi menjadi penjara terbuka apalagi justru ladang pembantaian.