OPM: Kelompok Separatis Radikal yang Lahir dari Keradikalan Multi-aspek Kehidupan Bernegara Kita
by Cenruang Alung (Kepala Departemen PENKASTRAT PPI Malaysia 2023)
Sesungguhnya, pembahasan OPM ini bukanlah semata tentang permasalahan teknis dan resolusi konflik dengan pergerakan militeristik. Akar permasalahannya terlahir bersamaan dengan proses kelahiran Indonesia. Berbagai kasus yang telah dilakukan oleh kelompok yang bergerak dengan sifat separatis ini harus segera diberi perhatian serius, tidak hanya melalui pandangan simplifikasi militeristik, namun ia perlu dikaji melalui kacamata pandang multi-disipliner. Sebagaimana ia merupakan buah dari kelalaian kita yang ternyata menyuburkan berbagai radikalisme dalam politik, ekonomi, hukum, geografis, sosial, budaya, bahkan kemanusiaan dalam kehidupan bernegara.
Sejarah singkat embrio OPM
Sebagaimana yang disebutkan di atas, sejarah OPM adalah sejarah Indonesia. Cikal-bakal kelompok ini lahir akibat dari kekaburan sejarah. Terdapat berbagai sumber yang menjelaskan tentang OPM ini, bahkan jauh daripada itu, menjelaskan tentang penduduk asli atau suku-suku di Papua, dan sejarah penguasaan Papua terkhusus Papua Barat dari jaman kerajaan Nusantara melalui perspektif antropologi-sejarah.
Tunas permasalahan dalam integrasi politik di Papua Barat ini muncul ketika dilakukannya Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 (Ngatiyem, 2007). Dalam perundingan tersebut, terdapat ketidak-sepakatan antara kedua delegasi, Indonesia dan Belanda. Delegasi Indonesia yang diketuai oleh Moh. Hatta menyatakan bahwa wilayah kedaulatan Indonesia merupakan seluruh wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Hal tersebut mendapat penolakan dari Belanda, sebab Belanda tidak ingin menyerahkan Irian ke Indonesia (Budiardjo & Liong, 1988).
Salah satu penyebab dalam perebutan tanah Papua tersebut adalah kondisi geografis dan sumber daya alam mineral, sebagaimana yang diistilahkan oleh Budiardjo dan Liong (1988) sebagai “harta bawah tanah yang tidak disebutkan.” Ditemukannya sumber daya mineral dan energi dalam eksplorasi geologi yang dilakukan personel militer Belanda di Papua pada tahun 1907 adalah awal mula dari perebutan ini (Budiardjo & Liong, 1988).
Dalam menghadapi konflik dengan Belanda tentang wilayah kedaulatan Indonesia, Presiden Sukarno mengeluarkan apa yang dikenal dengan TRIKORA (Tri Komando Rakyat). TRIKORA membuat Belanda harus menanda tangani perjanjian New York pada Agustus 1962, yang mengalihkan administrasi Irian Barat kepada UNTEA (United Nation Temporary Executive Authority). Pada Mei 1963, UNTEA menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia (Sugiyatno, 2017). Pada 1962 Belanda angkat kaki, namun sebelum itu mereka membentuk organisasi gerilya untuk memerangi kekuasaan Indonesia atas Irian Jaya. Organisasi Papua Merdeka (OPM) merupakan buah dari hasutan Belanda dalam membangkangi Indonesia (Premdas, 1985). Bahkan setelah Belanda benar-benar angkat kaki, indoktrinasi tersebut tetap tertanam dalam dan berkembang biak hingga saat ini, sebuah kelompok yang telah melestarikan hasutan penjajah, Organisasi Papua Merdeka (OPM). Hingga pada 26 Juli 1965 OPM resmi didirikan di Manokwari, dipimpin oleh Permenas Ferry Awom, bekas anggota batalyon sukarelawan Papua (Papua Vrijwilinger Corps) buatan Belanda.
Setelah beberapa peristiwa garis sejarah tersebut, pada Agustus 1969 dilaksanakannya PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) oleh Indonesia. Sebuah pemilihan umum untuk menentukan status Papua Barat apakah berintegrasi dengan Indonesia atau memerdekakan diri. Pada November 1969, hasil dari PEPERA diterima oleh Majelis Umum PBB melalui resolusi No. 2504 (XXIV), sejak saat itu Papua Barat dalam perspektif hukum internasional telah resmi berintegrasi menjadi wilayah Indonesia.
Namun, pada titik inilah letak dari kekaburan sejarah kita. Terdapat pro-kontra perihal hasil dari PEPERA ini, terdapat berbagai sumber yang menyatakan bahwa hasil itu tidak terang terbuka hingga saat ini. Apa yang dilakukan oleh sebagian besar politisi Indonesia pada saat itu dianggap memanipulasi dan mengintimidasi masyarakat Papua, nasionalisme yang ditanamkan pada saat itu bagi beberapa pihak terkesan memaksa dan mengubur sejarah lokal Papua yang heterogen (Ilmar, 2017).
Dalam Williams (1987), salah satu pengungsi politik OPM, Thomas Agaky Wanda menjelaskan tentang bagaimana ini semua terjadi, bahwa sebagian besar dari mereka (masyarakat Papua) yang hadir pada saat itu adalah orang-orang yang buta huruf dan berpikiran sederhana, mereka diberikan berbagai hadiah seperti jam tangan, sepeda, radio dan lain sebagainya untuk menanda tangani surat pernyataan tersebut. Dan untuk mereka yang memiliki kelas sosial lebih tinggi diberi pula hadiah yang lebih besar seperti jabatan, mobil, dan rumah.
Dari serangkaian peristiwa yang terjadi tersebutlah, rasa ingin memerdekakan diri masyarakat Papua kian bertambah. Tidak heran, gerakan separatis OPM pada saat itu semakin masif, hasutan dari Belanda yang tetanam dalam, ditambah dengan kekecewaan dengan prilaku Indonesia, kombinasi yang sempurna. Berbagai kerusuhan tak terelakkan setelah PEPERA, banyak nyawa telah melayang, berbagai usaha pun telah ditempuh Indonesia untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan ini, tapi disebabkan kekecewaan yang telah mengakar atau pendekatan Indonesia yang dirasa masih kurang di hati orang-orang kelompok ini, membuat perdamaian belum didapati hingga saat ini. Atau jangan-jangan kita turut serta dalam memberikan memoria passionis bagi rakyat Papua.
Radikalisme multi-aspek yang terus dipupuk
Berbagai pelanggaran HAM baik skala ringan maupun berat telah tercatat dalam riwayat pergerakan OPM. Hingga yang terbaru ini, penyanderaan Philips Mark Methrtens, pilot maskapai Susi Air berkebangsaan Selandia Baru, dan pembakaran pesawat setelah mendarat di Bandar Udara Paro, Kabupaten Nduga pada 7 Februari 2023.
Segala bentuk tindakan yang melanggar HAM haruslah dan memang pantas untuk mendapat kecaman. Segala bentuk pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh OPM haruslah mendapat perhatian dengan segera dan serius, baik oleh institusi negara yang berwenang maupun masyarakat luas, kegagalan kita dalam memberantas OPM ini adalah bentuk dari kegagalan negara dalam menegakkan HAM.
Tentu tidak hanya bentuk pelanggaran HAM yang telah dilakukan oleh OPM yang harus mendapat perhatian, namun segala aspek pada tingkat apapun dalam kehidupan bernegara maupun dunia. Pelanggaran HAM dapat dilakukan oleh siapa saja dan di mana saja, individu, kelompok bahkan negara pun kerap melakukan pelanggaran HAM, atau paling tidak bersikap diam ketika terjadi pelanggaran HAM.
Terkait OPM ini, ia merupakan masalah yang terus terawat oleh radikalisme multi-faktor, terdapat faktor historis yang perlu untuk benar-benar dipahami, selama masih terdapat kekaburan dalam sejarah Indonesia, maka selama itu pula kelompok ini akan sulit memberi kepercayaan kepada negara.
Terdapat faktor radikalisme politik negara, rasa tereksklusinya masyarakat Papua dalam persaingan panggung politik, dan komposisi pejabat negara yang timpang merupakan buah dari radikalisme negara dalam aspek politik sehingga memunculkan perasaan termarjinalisasi dalam masyarakat Papua. Pada aspek ekonomi dan pembangunan juga terdapat bentuk keradikalan negara terhadap Papua, perhatian pembangunan negara yang masih jauh dari kata merata, eksploitasi sumber daya alam yang sebagian besar keuntungannya justru teralokasikan ke dalam kantung segelintir orang juga merupakan bentuk merawat rasa termarjinalisasi masyarakat Papua (Ilmar, 2017).
Bahkan dalam aspek sosial, negara atau bahkan kita semua turut serta dalam memupuk rasa keinginan Papua untuk memisahkan diri dari Indonesia. Berbagai tindakan diskriminatif berbau SARA dan stigma yang tak jarang berkonotasi negatif oleh masyarakat luas terhadap masyarakat Papua adalah bentuk kelalaian kita, bahwa kita turut serta dalam menyiram bensin ke api dendam masyarakat Papua yang termanifestasikan dalam tindakan separatis bahkan terorisme yang dilakukan OPM.
Dari berbagai bentuk keradikalan yang secara sadar ataupun tidak sadar itulah melahirkan hegemoni dan relasi antagonisme antara masyarakat Papua dan negara. Kasus OPM ini haruslah menjadi pelajaran bagi kehidupan bernegara dan bermasyarakat, bahwa jangan sampai kita turut serta dalam melahirkan political frontiers, atau batas akhir pembentuk hegemoni yang dimana setiap aktornya memaknai identitas mereka dengan relasi antagonistik (Ilmar, 2017).
Pada akhirnya, kita perlu untuk memahami permasalahan OPM ini secara komprehensif dan proporsional melalui kacamata pandang multidisiplin keilmuan, permasalahan ini bukan hanya mengenai infrastruktur namun juga suprastruktur. Berbagai tindakan yang melanggar HAM dan mengancam keamanan negara perlu mendapat penanganan segera, dan perlu diusahakan dengan cara yang memiliki potensi terkecil dalam memakan korban jiwa. Kecaman publik terhadap OPM adalah suatu yang wajar, namun tidak lupa refleksi terhadap kehidupan bermasyarakat dan bernegara perlu untuk senantiasa kita lakukan. Jangan sampai kita mengecam gerakan separatis radikal dari OPM, sementara kehidupan bermasyarakat dan bernegara kita terus memberi memoria passionis terhadap beberapa kelompok dan berpotensi melahirkan gerakan radikal baru.