Harmonisasi Nilai-Nilai Hak Asasi Manusia (HAM): Pergulatan Universalisme dan Relativisme Budaya

by Adnan Rafli

Diktotomi Dua Gagasan “Asian values” dan “western values”. Kedua istilah itu menjadi topik perdebatan di kalangan cerdik pandai menjelang Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia (HAM) di Wina pada dasawarsa 1990-an. Jika ditarik jauh ke belakang, perdebatan itu bahkan telah muncul menjelang berakhirnya Perang Dingin. Pertarungan keduanya menandakan adanya perbedaan konseptual berpikir menyoal filosofi HAM yang dalam perkembangannya membelah negara-negara di dunia menjadi dua blok besar, yaitu negara-negara Barat yang sebagian besar mendukung nilai-nilai universalisme dan negara-negara Timur yang mendukung nilai-nilai relativisme budaya. Nilai universalisme HAM ditempatkan sebagai nilai yang implementasinya tidak mempertimbangkan konfigurasi sosial dan waktu serta melintasi yuridiksi negara-negara. Pandangan HAM universal juga menekankan arti penting sifat-sifat alamiah HAM yang melekat secara fundamental pada diri manusia. Sebagaimana yang dikutip dari Mahmood (1993), “Human right could be generally defined as those rights which are inherent in our nature and without which we can’t live as human being “. Dengan demikian, pendukung gagasan HAM universal menekankan bahwa setiap orang (everyone) memiliki hak asasi yang fundamental secara mutlak, sehingga HAM dinilai berlaku universal dimana pun (everywhere).  Senada dengan penjelasan di atas, Howard (2000) dalam Penjajahan Dalih Relativisme Budaya mengatakan bahwa HAM adalah hak yang dimiliki oleh manusia semata-mata karena mereka adalah manusia. HAM juga dinilai sebagai hak kodrati (natural right theory) yang bukan merupakan produk pemberian negara. Locke (1823) bahkan menempatkan negara hanya sebagai pihak yang seharusnya melayani kepentingan dan pemenuhan hak-hak fundamental tersebut. Implementasi nilai HAM universal yang terekam dalam berbagai bentuk International Bills of Human Rights diberlakukan secara borderless di semua negara. Dalam bahasa lain, nilai HAM universal tidak membaca kekhasan yang dimiliki oleh setiap bangsa yang boleh jadi berbeda dengan konteks masyarakat Barat. Hal itu kemudian memunculkan diskursus tandingan yang menentang nilai universalisme HAM. Para pemimpin negara-negara Islam dan negara-negara berkembang—negara Timur atau dalam istilah yang lebih kontemporer disebut juga sebagai Global South—mengajukan gagasan relativisme budaya (cultural relativism).  Sebagai antitesis dari konsep HAM universal, relativisme budaya memandang pentingnya menempatkan kebudayaan sebagai sumber keabsahan hak dan kaidah moral. Relativisme budaya menyerukan dalil bahwa  “there is no such thing as universal things “ yang menunjukkan adanya penolakan terhadap hak yang bersifat universal. Herder dalam Iskandar (2010) juga memperkuat gagasan itu dengan mengeklaim bahwa tiap-tiap bangsa memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Nilai universal kemudian dianggap sebagai suatu kebodohan karena gagal membaca konteks budaya tertentu dan kekhasan masing-masing negara. Perlindungan hak asasi manusia dalam kerangka pikir universalisme dengan demikian dinilai hanya sebagai bentuk intervensi budaya dari bangsa Barat. Tidak berlebihan untuk kita mengambil kesimpulan bahwa konsepsi nilai HAM universal dan relativisme budaya berada pada oposisi biner. Keduanya saling menolak, menegasikan, dan mendikotomikan. Nilai HAM universal seolah bertarung dengan relativisme budaya. Relativisme budaya pun demikian, seolah tidak kompetibel dengan nilai-nilai HAM universal. Penelitian Rosyada (2017) yang berjudul Tangan-Tangan Kecil di Tengah Tembakau barangkali menjadi referensi penting untuk memahami dikotomi konsep HAM universal dengan relativisme budaya di Indonesia. Rosyada (2017) berangkat dari sebuah kritik atas tuduhan yang dialamatkan oleh organisasi humanitarianisme internasional tentang adanya praktik eksploitasi anak di sekitar perkebunan tembakau di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Organisasi-organisasi itu memberitakan bahwa anak-anak menderita dan dipaksa bekerja di lingkungan yang berbahaya. Tuduhan itu berkiblat pada pemahaman tentang anak yang dimaknai secara universal, yaitu pemaknaan bahwa anak dibawah usia 18 tahun dikenal innocent, cute, secara penuh berada di bawah perlindungan orang tua, dan lain-lain. Ketika ada anak-anak di bawah 18 tahun yang bekerja—apalagi bekerja di perkebunan tembakau yang identik dengan industri rokok—seketika hal itu disimpulkan sebagai bentuk eksploitasi. Rosyada (2017) berargumen bahwa definisi tentang anak yang berlaku universal itu cenderung memukul rata makna anak di seluruh dunia, tanpa membaca bahwa setiap negara-bangsa memiliki pemaknaan yang berbeda-beda terhadap anak. Anak-anak di sekitar perkebunan tembakau memang dimaknai memiliki nilai ekonomi dan produksi. Namun, hal itu tidak serta merta mematikan hak-hak mereka atas pendidikan, afeksi, perlindungan, dan lain-lain. Demikianlah, universalisme HAM seringkali berkontestasi dengan nilai-nilai relativisme budaya. Perdebatan Tak Kunjung Usai Semenjak berakhirnya Perang Dingin hingga kini dunia memasuki era kontemporer, perdebatan tentang nilai universalisme HAM dan relativisme budaya seolah tidak pernah usai. Melampaui pertarungan ideologis tersebut, terutama untuk melihat lebih jauh ke dalam konteks Indonesia, ada baiknya kita menarik kembali bagaimana pemaknaan universalisme HAM ternyata berkelindan secara dinamis dengan konteks sosial, budaya, dan politik yang sedang berkembang di masyarakat—bukan malah terperangkap dalam hubungan yang saling menolak dan mendikotomikan. Tulisan Nasution (2003) tentang Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Supremasi Hukum kiranya menjadi referensi babon untuk memahami kedua konsep filosofis tersebut. Nasution (2003) berangkat dari pemahaman bahwa nilai HAM universal yang berlaku di seluruh negara menekankan pada upaya untuk melindungi, menghormati, dan meninggikan martabat manusia. Hal itu sebagaimana yang juga terangkum dalam perumusan Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights) tahun 1948. Nilai-nilai HAM yang berlaku universal itu sejatinya telah tercermin di dalam kesadaran nasional kemerdekaan Indonesia. Penindasan penguasa kolonial yang berlangsung ratusan tahun telah menumbuhkan cita-cita bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme. Cita-cita itu diterjemahkan oleh para pendiri bangsa lewat pembentukan Budi Utomo yang memiliki misi untuk memajukan pendidikan masyarakat pribumi. Dalam perkembangannya, momentum Sumpah Pemuda 1928 juga dinilai menjadi upaya untuk menaikkan martabat bangsa Indonesia agar dapat sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Puncaknya, upaya memanusiakan setiap warga negara itu tercermin dalam peristiwa Proklamasi Kemerdekaan 1945. Berkaitan dengan itu, salah satu kesusastraan Jawa Baru terpopuler, Serat Centhini, kiranya juga layak dijadikan referensi untuk membaca relevansi relativisme budaya dan universalisme. Salah satu kisah di dalam Serat Centhinimenceritakan kehidupan perempuan Keraton Mangkunegaran pada periode 1757-an. Pada periode tersebut, para perempuan Mangkunegaran rupanya telah didorong untuk belajar, menulis, dan berperan aktif dalam pemerintahan –sebagaimana laki-laki pada masa itu. Embrio tentang semangat pemberian kesamaan hak, kesempatan, dan privilege yang sama antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana yang digelorakan kaum feminis, rupanya telah hidup di alam pikir masyarakat kita –bahkan jauh sebelum feminisme di Eropa lahir. Nilai-nilai HAM universal yang juga berbicara soal kesetaraan antara laki-laki dan perempuan rupanya sudah hidup di dalam diri masyarakat Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu. Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa semangat yang terkandung di dalam nilai-nilai universalisme HAM secara otomatis telah mendarah daging di dalam tubuh bangsa kita. Persoalan HAM yang selama ini dipandang mengambil sepenuhnya pemikiran Barat rupanya memiliki akar-akar gagasan yang sama dan sudah melekat dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Namun demikian, argumentasi para pendukung gagasan relativisme budaya juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Dalam berbagai konteks, nilai universalisme HAM acapkali tidak kompatibel dengan konteks sosial-budaya yang berkembang di masyarakat. Penelitian Miqat (2004) tentang sistem pemilikan hak atas tanah masyarakat Adat Ngata Toro di Provinsi Sulawesi Tengah kiranya menjadi salah satu referensi apik menyoal itu. Relasi antara laki-laki dan perempuan di masyarakat Adat Ngata Toro barangkali berbeda dengan konsep kesetaraan gender yang santer terdengar dalam nilai-nilai universalisme HAM. Tidak dipahami “setara”, relasi laki-laki dan perempuan malah dibangun secara “harmonis”. Masyarakat Adat Ngata Toro hanya menghendaki laki-laki yang dapat menjadi kepala suku. Namun, hal itu bukan berarti mereka meminggirkan posisi kaum perempuan. Perempuan memegang peranan penting untuk mendukung sistem pemerintahan lokal, dimana keputusan sah atau tidaknya laki-laki menjadi kepala suku sangat ditentukan oleh perempuan. Begitu pun dalam hal kepemilikan harta benda, laki-laki hanya diperkenankan memiliki senjata, sementara rumah, tanah, dan ternak sepenuhnya dikuasai oleh perempuan. Hal itu dimaksudkan untuk menjamin kehidupan perempuan apabila sewaktu-waktu ditinggalkan oleh laki-laki. Cerita di atas hanyalah sebagian contoh kecil yang memperkuat argumentasi para penganut relativisme budaya. Hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam relasi semacam itu barangkali berbeda dengan prinsip universalisme ala Barat yang menjunjung tinggi kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan secara utuh. Hal itu menunjukan bahwa dalam beberapa konteks, nilai-nilai yang terkandung dalam universalisme HAM memang tidak kompatibel dengan kekhasan yang berkembang di masyarakat. Melampaui Perdebatan Ideologis Kita harus mahfum, dinamika yang terjadi dalam kehidupan manusia saat ini sangat kompleks, cair, dan blurred. Tidak lagi relevan bagi kita untuk melihat segala sesuatu secara parsial dan hitam putih saja. Dalam konteks memahami implementasi universalisme HAM dan relativisme budaya, keduanya tidak bisa dipandang sepenuhnya berseberangan atau dijebak dalam relasi yang dikotomis, saling menegasikan dan menolak satu sama lain. Pada beberapa kasus, nilai-nilai universalisme HAM rupanya berkelindan secara dinamis dengan konteks sosial, budaya, dan politik masyarakat Indonesia. Tetapi, tak dapat dimungkiri, dalam beberapa konteks lainnya, nilai-nilai universalisme HAM memang kurang kompatibel dengan konteks sosial-budaya yang sedang berkembang. Namun demikian, hal itu tak lantas menjadi pembenaran bagi kita untuk membunuh salah satunya demi mempertahankan yang lain. Keduanya dapat berkelindan secara dinamis dalam rangka mengimplementasikan nilai-nilai HAM yang lebih harmonis. Memegang teguh nilai-nilai universalisme dalam implementasi HAM sangatlah penting, sebab menjadi tolak ukur bagi peningkatan dan pengakuan bangsa lain atas tinggi-rendahnya bangsa Indonesia sebagai bangsa beradab. Di sisi lainnya, prinsip-prinsip relativisme budaya dalam konteks implementasi HAM juga tidak kalah penting, karena berkaitan dengan sesuatu yang ‘murni’ menjadi bagian dari diri kita. Oleh sebab itu, sudah saatnya perdebatan panjang tentang universalisme HAM dan relativisme budaya itu diakhiri. Ini adalah waktu yang tepat bagi kita untuk lebih cerdik dalam melihat celah di posisi mana nilai-nilai universalisme HAM dan nilai-nilai relativisme budaya itu relevan serta bagaimana keduanya dapat saling berdialektika secara dinamis dengan memanfaatkan modal sosial-budaya yang berkembang di masyarakat kita. Meskipun langkah revolusioner itu perlu ditempuh lewat jalan yang terjal dan tidak mudah, kita tetap perlu memulainya dari sekarang.

Similar Posts