Ramai Postingan Peringatan Darurat di Media Sosial, Apa makna dibaliknya?
Ghathfan Muhamad Afifazfa – 22 Agustus 2024
Baru-baru ini Warganet Indonesia sedang dikejutkan oleh munculnya sebuah unggahan gambar berlatar berwarna biru disertai dengan gambar burung Garuda dan sebuah tulisan yang bertuliskan ‘Peringatan Darurat’. Awalnya, gambar tersebut diunggah oleh tokoh-tokoh seperti Najwa Shihab dan dengan cepat menyebar luas hingga ke berbagai media sosial. Dari sini muncul lah pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi dan apa makna dibalik unggahan gambar tersebut?
Jadi dikumpulkan dari berbagai sumber yang ada, unggahan yang berupa burung garuda disertai dengan tulisan peringatan darurat adalah merupakan bagian dari gerakan yang menyoroti situasi politik di Indonesia saat ini. Gambar tersebut merupakan bentuk dari rasa kekecewaan public terhadap langkah DPR yang berupaya menganulir putusan Makamah Konstitusi (MK). Untuk lebih jelasnya, mari kita mulai membahas dari awal mula kejadian ini yang merupakan hasil dari putusan Makamah Konstitusi (MK) lalu dilanjut dengan putusan Makamah Agung (MA) hingga masalah dari revisi Undang-Undang (UU) Pilkada yang mendapatkan respon buruk dari rakyat.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)
Dikutip dari situs resmi Mahkamah Konstitusi, MK telah menolak seluruh permohonan pengujian Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), sebagaimana dimaknai dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Sidang ini menggabungkan dua perkara sekaligus, yaitu Perkara Nomor 154/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh dua dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Karno, Russel Butarbutar dan Utami Yustihasana Untoro, serta Perkara Nomor 159/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Yuliantoro.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menegaskan bahwa ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu, sebagaimana telah dimaknai dalam Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK juga menyerahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan lebih lanjut mengenai persyaratan usia minimal bagi calon presiden dan/atau wakil presiden.
Termasuk Jabatan Wakil Kepala Daerah
Hal yang sama juga dinyatakan oleh Mahkamah dalam putusan terkait Perkara Nomor 159/PUU-XXI/2023. Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa ada tiga isu pokok yang menjadi sorotan, salah satunya adalah ketidakterakomodirannya jabatan wakil kepala daerah dalam pemaknaan usia minimal 40 tahun untuk calon presiden dan wakil presiden. Meskipun demikian, Mahkamah berpandangan bahwa secara yuridis, jabatan wakil kepala daerah telah diakomodir dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 141/PUU-XXI/2023, yang menyepadankan batas usia minimal 40 tahun dengan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagai pejabat yang dipilih melalui pemilihan umum.
Dalam sidang tersebut, Ketua MK Suhartoyo menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya, menguatkan bahwa putusan yang telah diambil tidak bertentangan dengan konstitusi.
Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah
Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. Dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, Mahkamah memberikan rincian mengenai ambang batas yang harus dipenuhi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk dapat mendaftarkan pasangan calon kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota).
Ketua MK Suhartoyo menyampaikan bahwa Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika memenuhi persyaratan perolehan suara sah tertentu di provinsi atau kabupaten/kota.
Beberapa ketentuan yang diubah oleh Mahkamah adalah:
- Di provinsi dengan jumlah pemilih tetap hingga 2 juta jiwa, partai politik harus memperoleh minimal 10% suara sah.
- Untuk provinsi dengan pemilih tetap 2-6 juta jiwa, minimal 8,5% suara sah diperlukan.
- Provinsi dengan 6-12 juta jiwa memerlukan minimal 7,5% suara sah, sementara untuk lebih dari 12 juta jiwa, dibutuhkan minimal 6,5% suara sah.
- Di tingkat kabupaten/kota, partai politik perlu memenuhi persyaratan minimal 10% suara sah untuk wilayah hingga 250 ribu jiwa, dengan persentase yang menurun sesuai peningkatan jumlah penduduk tetap hingga minimal 6,5% untuk wilayah dengan lebih dari 1 juta jiwa.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menambahkan bahwa aturan ini penting untuk menjaga keseimbangan dan keadilan dalam sistem pemilu, serta menjamin hak konstitusional partai politik yang telah memperoleh suara sah dalam pemilu.
Dampak dari Keputusan MK (Mahkamah Konstitusi)
- Dampak pada PDIP: Sebelum keputusan MK yang baru-baru ini ditetapkan, ambang batas untuk mencalonkan kandidat adalah 20% kursi di DPRD. Karena sebagian besar partai besar telah bergabung dengan KIM Plus, PDIP kesulitan mencari koalisi untuk mencalonkan kandidatnya dalam pemilihan gubernur Jakarta. Namun, dengan penurunan ambang batas menjadi 7.5% suara populer, PDIP sekarang dapat mencalonkan kandidat mereka sendiri tanpa harus berkoalisi.
- Dampak pada Anies Baswedan: Anies Baswedan, yang merupakan salah satu calon potensial yang paling populer di Jakarta (dan sebelumnya mencalonkan diri sebagai Presiden bersama Cak Imin), menghadapi tantangan besar karena tidak terafiliasi dengan partai politik mana pun (independen). Dengan PKB (partainya Cak Imin), NasDem, dan PKS meninggalkannya untuk bergabung dengan KIM Plus, Anies kehabisan opsi untuk mencalonkan diri. Namun, keputusan MK yang baru membuka kembali kemungkinan bagi Anies untuk mencalonkan diri—jika ia mendapatkan dukungan dari PDIP. PDIP pun sudah mulai memberikan tanda-tanda ketertarikan.
- Dampak pada Persyaratan Usia: Mengapa keputusan MK yang menetapkan batas usia minimal untuk calon kepala daerah menjadi 30 tahun saat pendaftaran, bukan saat pelantikan, sangat penting? Pada bulan Juni lalu, Mahkamah Agung (MA) secara kontroversial mengubah persyaratan usia bagi calon kepala daerah, menyatakan bahwa mereka hanya perlu berusia 30 tahun pada saat dilantik, bukan saat mendaftar. Namun, keputusan baru MK ini membalikkan keputusan tersebut.
Mengapa ini penting? Banyak yang percaya bahwa perdebatan ini berpusat pada putra Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, yang berulang tahun ke-30 pada 25 Desember. Jika persyaratan usia didasarkan pada pelantikan, Kaesang masih bisa mencalonkan diri di Pilkada, karena ia akan berusia 30 tahun pada saat dilantik (jika menang). Namun, dengan keputusan baru MK ini, secara efektif hal tersebut menghalangi Kaesang untuk melanjutkan pencalonannya.
Putusan Makamah Agung (MA)
Pasal 7 ayat (2) huruf e UU No.10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi UU mengatur batas usia paling rendah 30 tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.
KPU mengatur teknis ketentuan itu dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU No.9 Tahun 2020 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan KPU No.3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota yang menegaskan batas usia itu ‘terhitung sejak penetapan pasangan calon’.
Pada tanggal 29 Mei 2024, Mahkamah Agung (MA) melalui putusan nomor 23P/HUM/2024 memberikan pemaknaan berbeda oleh Mahkamah Agung (MA) melalui putusan MA No.23 P/HUM/2024 sehingga syarat batas usia calon kepala daerah itu “terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih.” Yang membuat MA memerintahkan KPU untuk mengubah aturan syarat usia minimum calon kepala daerah gubernur dan wakil gubernur menjadi 30 tahun saat dilantik, bukan saat penetapan paslon oleh KPU.
Respon Terhadap Revisi UU Pilkada
Dalam perkembangan terkait, upaya DPR untuk menganulir putusan MK dan merevisi UU Pilkada menjadi sorotan utama publik. Mayoritas fraksi dalam rapat Panja RUU Pilkada sepakat memilih syarat usia calon kepala daerah sebagaimana putusan MA No.23 P/HUM/2024. Hanya fraksi PDIP yang memilih putusan MK No.70/PUU-XXII/2024 sebagai acuan syarat usia calon kepala daerah dalam RUU Pilkada.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Ach Baidowi, mengatakan putusan MA lebih jelas dan detail mengatur ketentuan tentang syarat usia pencalonan kepala daerah. Sementara putusan MK hanya menolak seluruh permohonan. Semua yang disampaikan anggota Baleg DPR terkait 2 putusan itu menurut Baidowi secara logika sudah benar, tapi ada norma hukum yang harus dirujuk.
Revisi UU ini dianggap sebagai ancaman terhadap demokrasi, khususnya dengan perubahan aturan yang memungkinkan partai politik non-parlemen mencalonkan kepala daerah. Mayoritas fraksi di DPR, kecuali PDIP, telah menyetujui revisi ini, meskipun banyak pihak yang mengkritik langkah tersebut.
Analis komunikasi politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, mengaitkan lambang garuda biru yang viral di media sosial dengan ekspresi kekecewaan publik atas langkah DPR ini. Gambar tersebut dianggap sebagai simbol peringatan dini atau “early warning system” atas situasi politik dan kondisi demokrasi di Indonesia yang semakin memprihatinkan.
Dampak dari Revisi Undang-Undang yang lebih memilih Keputusan Makamah Agung (MA)
Keputusan MA terkait dengan persyaratan usia minimal untuk calon gubernur ini tentunya mempengaruhi dampak putusan MK yang sudah disebutkan sebelumnya. Yaitu:
- Memberikan Kesempatan Kaesang Pangarep dalam Pilkada 2024
Revisi Undang-Undang ini yang mengikuti putusan Makamah Agung (MA) dibandingkan dengan Makamah Konstitusi (MK) secara tidak langsung menguntungkan putra Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep. Pasalnya jadwal penetapan paslon gubernur-wakil gubernur dilakukan KPU pada 22 September 2024. Sedangkan usia Kaesang baru menginjak 30 tahun pada 25 Desember 2024.
- Menguntungkan Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus)
Dengan menganulir putusan Makamah Konstitusi (MK), hal ini berarti ambang batas pencalonan kandidat tidak berubah sesuai dengan putusan MK. Hal ini tentu saja menguntungkan KIM Plus sebagai koalisi terbesar dalam pilkada 2024 ini karena PDIP tidak dapat mendaftarkan calon gubernur Daerah Khusus Jakarta mereka untuk bersaing dengan calon yang telah di siapkan oleh KIM Plus. Yang akan membuat pilkada 2024 akan menjadi tidak seimbang karena calon dari KIM Plus hanyalah tersisa calon independen yang kurang dikenali orang-orang.
- Anies Baswedan Terancam Tidak Dapat Maju Sebagai Calon Gubernur Daerah Khusus Jakarta
Berdasarkan hasil putusan MK, dikabarkan bahwa PDIP akan mengusung Anies Baswedan sebagai calon gubernur. Ini berarti Anies Baswedan mendapatkan kesempatan untuk maju sebagai calon gubernur Daerah Khusus Jakarta yang sebelumnya menghadapi tantangan besar karena tidak terafiliasi dengan partai politik mana pun (independen).
Namun dampak dari DPR yang lebih memilih untuk menggunakan putusan MA sebagai dasar Revisi Undang-Undang dibandingkan dengan putusan MK membuat kesempatan yang sudah terbuka itu kembali tertutup.
Situasi ini mengundang perhatian luas dari berbagai kalangan, mulai dari aktivis hingga pesohor, yang turut menyuarakan kekhawatiran mereka melalui simbol garuda biru. Apakah langkah DPR ini akan mengubah dinamika politik Indonesia ke depan, masih menjadi tanda tanya besar yang perlu kita awasi bersama.
Sebagai mahasiswa yang merupakan harapan masa depan bangsa, kita memiliki tanggung jawab besar untuk ikut serta dalam membangun negeri ini. Tidak harus terlibat secara langsung, yang terpenting adalah kita sebagai individu menjadi lebih sadar, kritis, dan peduli terhadap isu-isu politik. Dengan demikian, kita dapat berkontribusi dalam menjaga demokrasi dan memastikan bahwa hak-hak rakyat terus terjaga.
Sumber dan Referensi:
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=21469&menu=2
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19979
https://tirto.id/dpr-anulir-putusan-mk-peringatan-garuda-biru-menggema-di-medsos-g2Xb