Bisakah DPR Membatalkan Keputusan Makamah Konstitusi (MK)?
Ghathfan Muhamad Afifazfa – 23 Agustus 2024
Pembatalan revisi Undang-Undang Pemilu yang terjadi pada 22 Agustus 2024 lalu menimbulkan diskusi hangat mengenai batasan wewenang lembaga legislatif dalam menghadapi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam konteks ini, peran MK sebagai penjaga konstitusi yang putusannya bersifat final dan mengikat menjadi sorotan utama. Seiring dengan itu, muncul pertanyaan mendasar: apakah DPR memiliki kapasitas untuk membatalkan atau mengesampingkan keputusan MK melalui revisi undang-undang? Pertanyaan ini tidak hanya relevan dalam konteks perdebatan hukum, tetapi juga berpotensi mengguncang fondasi sistem demokrasi dan hukum di Indonesia.
Kekuatan Hukum Putusan MK Berdasarkan UUD 1945
Menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.” Lalu Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2011 berbunyi “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan Mahkamah Konstitusi.”
Dalam konteks ini, penting untuk dicatat bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat seharusnya menjadi landasan bagi setiap pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk dalam revisi Undang-Undang Pilkada. Oleh karena itu, upaya untuk mengesampingkan putusan MK melalui revisi UU dapat dilihat sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap prinsip supremasi konstitusi, yang pada akhirnya akan merusak kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan demokrasi di Indonesia.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, berpendapat bahwa revisi UU Pilkada oleh DPR yang mengabaikan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah tindakan “bermain-main dengan hukum.” Ia memperingatkan bahwa revisi UU Pilkada yang tidak mematuhi keputusan MK berpotensi untuk diuji kembali melalui judicial review.
Jadi, jika revisi UU Pilkada bertentangan dengan keputusan MK, bisa saja dibatalkan lagi melalui judicial review. Namun, proses ini panjang dan berlarut-larut. Tindakan DPR ini menunjukkan praktik yang buruk dalam pembuatan hukum di Indonesia.
Ketidakpatuhan terhadap Putusan MK: Bukan Fenomena Baru
Namun, ketidakpatuhan terhadap putusan MK bukanlah hal yang baru. Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengungkapkan bahwa 22,01% putusan MK tidak diikuti oleh lembaga negara, dengan kurangnya mekanisme penegakan menjadi masalah utama. Implementasi dari putusan-putusan ini sangat bergantung pada kesediaan lembaga dan warga negara, karena MK tidak memiliki wewenang untuk memaksa kepatuhan.
Menurut Titi Anggraini, seorang dosen hukum pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, putusan MK baru-baru ini memiliki kemiripan dengan putusan MK yang kontroversial yang mengubah persyaratan usia bagi calon presiden, yang memungkinkan Gibran Rakabuming (anak lain dari Presiden Jokowi) untuk mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden.
Forum PPI Malaysia pada Tanggal 24 Agustus 2024
Dalam menghadapi berbagai kontroversi hukum yang menyelimuti revisi Undang-Undang Pemilu, kekhawatiran tidak hanya muncul dari para ahli hukum dan akademisi di dalam negeri. Suara kritis juga datang dari Perhimpunan Pelajar Indonesia di Malaysia (PPI Malaysia). Dalam sebuah pernyataan sikap, PPI Malaysia dengan tegas mengungkapkan kekecewaan mereka terhadap tindakan inkonstitusional yang dilakukan oleh oknum petinggi negara, menekankan bahwa mereka berdiri di pihak konstitusi. Mereka menyerukan kepada seluruh elemen bangsa untuk bergerak dan melawan segala bentuk pelemahan konstitusi, demi menjaga kedaulatan rakyat dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kami, Pelajar Indonesia di Malaysia, menyatakan dengan tegas bahwa pernyataan sikap ini bersifat independen dan tidak terafiliasi dengan kepentingan politik manapun. Dengan ini, kami memposisikan diri berada di wilayah konstitusional, sementara dengan amat disayangkan, para oknum petinggi negara berada di wilayah inkonstitusional.
Kami berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk keselamatan seluruh rakyat Republik Indonesia. Semoga Tuhan Yang Maha Esa merestui kehendak rakyat dan mengembalikan kedaulatan Ibu Pertiwi di tangan rakyat Indonesia.
Bergerak dan lawan upaya pelemahan konstitusi.
Salam Perhimpunan!
Salam Hormat,
PPI Malaysia
Sumber dan Referensi:
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=21469&menu=2
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19979
https://tirto.id/dpr-anulir-putusan-mk-peringatan-garuda-biru-menggema-di-medsos-g2Xb